Rabu, 21 Maret 2012

PESANTREN SEBAGAI UPAYA MODEL PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT

BAB  I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan tumpuan utama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pendidikan menjadi sarana bagi pembentukan intelektualitas, bakat, budi pekerti atau akhlaq dan kecakapan peserta didik. Dunia pendidikan dimasa depan dituntut untuk lebih dekat dengan realitas serta permasalahan hidup yang ada didalam masyarakat. Sehingga lembaga pendidikan harus berperan aktif dalam memecahkan problem sosial.
Komitmen dan konsentrasi terhadap pemecahan problem sosial sudah seharusnya menjadi bagian dari visi dan misi dunia pendidikan nasional. Lembaga pendidikan baik negeri ataupun swasta dituntut agar lebih berkomitmen mengingat kompleksitasnya permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Fenomena merosotnya kualitas moral bangsa tampaknya menggugah kesadaran bersama untuk memperkuat kembali dimensi moralitas bangsa dengan mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan akhlaq atau budi pekerti.
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi bangsa sudah seharusnya menjadi bagian pertimbangan dalam menata dunia pendidikan nasional. Peluang pendidikan untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat semakin terbuka lebar dan peluang masyarakat untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan kian tersedia seiring dipahaminya konsep pendidikan berbasis masyarakat.
Pendidikan berbasis masyarakat disini difokuskan dalam pesantren. Pesantren merupakan salah satu pendidikan yang berbasis masyarakat dimana pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan dari demokrtisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat.
Kebanyakan masyarakat sering mengait-ngaitkan pesantren dengan terorisme, padahal dalam kehidupan pesantren tidak ada pembelajaran mengenai terorisme tetapi yang ada adalah pembelajaran mengenai “jihad” yaitu berjuang di jalan Allah. Sehingga perlu diluruskan akan pemikiran yang ada dalam masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.                     Apakah konsep pendidikan berbasis masyarakat dan definisi pesantren?
2.        Mengapa  pesantren  dianggap sebagai model pendidikan berbasis masyarakat?
C.     Tujuan
1.        Mengetahui konsep pendidikan berbasis masyarakat dan definisi pesantren.
2.        Mengetahui alasan pesantren sebagai model pendidikan berbasis masysrakat.

BAB  II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat dan Definisi Pesantren
1.      Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
            Pendidikan berbasis masyarakat menjadi suatu gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengatasi tantangan kehidupan yang berubah-ubah dan semakin berat. Pendidikan berbasis masyaakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpuatas prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.
            Michael W. Galbraith mengartikan bahwa pendidikan berbasis masyarkat merupakan sebagai proses pendidikan dimana individu atau orang dewasa menjadi lebih berkmpetan dalam menangani keterampilan, sikap dan konsep mereka dalam hidup didalam dan mengontrol aspek-aspek local dari masyarakat melalui partisipasi demokratis. Pendapat yang lebih luas mengenai pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith yang mengatakan bahwa pesantren merupakan sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografis atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan sukarela tempat pembelajaran, tindakan dan kesempatanrefleksi yang ditentukan oleh pribadi, social, ekonomi dan kebutuhan politik mereka.
            Sebagian ahli pendidikan seperti Compton & H McClusky menyebutkan istilah “Community education is development” (pendidikan masyarakat untuk pengenbangan yang didefinisikan sebagai proses yang menjadi jalan bagi anggota masyarakat supaya mampu mengidentifikasi problem dan kebutuhannya, mencari solusi diantara mereka sendiri, memobilisasi sumber-sumber yang ada seperlunya dan melakukan rencana tindakan atau pembelajaran ataupun kedua-duanya. Sehingga pendekatan pendidikan masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan yang lebih baik.
            Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada ditangan masyarakat. Prinsip pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang dirancang, diatur, dilaksanakan, dinilai dan dikembangkan oleh masyarakat. Jenis pendidikan ini dikembangkan atas dasar inisiatif masyarakat untuk menjawab problema hidup, dikelola masyarakat secara mandiri dengan memanfaatkan fasilitas yang dimiliki masyarakat serta menekankan pada pentingnya partisipasi warga pada setiap kegiatan belajar.
            Model pendidikan berbasis masyarakat saat ini mulai diakui keberadaannnya sejak diberlakukannya UU no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan berpijak pada UU Sisdiknas ini pendidikan berbasis masyarakat di Indonesia menunjuk pada pengertian yang variatif yang mencakup:
a.       Pendidikan luar sekolah yang diberikan oleh organisasi akar rumput (grassroot organization) seperti pesantren dan LSM.
b.      Pendidikan yang diberikan oleh sekolah swasta dan yayasan.
c.       Pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh pusat pelatihan milik swasta.
d.      Pendidikan luar sekolah yang disediakan oleh pemerintah.
e.       Pusat kegiatan belajar masyarakat.
f.       Pengambilan keputusan yang berbasis masyarakat.
            Michael W. Galbraith menjelaskan lebih luas menganai prinsip-prinsip pendidikan berbasis masyarakat yaitu:
a.       Self determination (menentukan diri sendiri) yaitu anggota masyarakat memiliki hak dan tanggungjawab untuk menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang dapat digunakan sebagai rumusan kebutuhan.
b.      Self help (menolong diri sendiri) yaitu masyarakat menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik, dimana anggota masyarakat dilayani dengan baik saat kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkan.
c.       Leadership development (pengembangan kepemimpinan) dimana para pemimpin local dilatih terus untuk menjadi terampil dalam memecahkan masalah, membuat keputusan dan interaksi dalm kelompoksecara terus-menerus.
d.      Localization (lokalisasi) yaitu masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat agar partisipasi masyarakat tinggi.
e.       Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) yaitu adanya hubungan antaragenerasi dalam masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan public dalam rangka pemenuhan tujuan dan pelayanan public yang lebih baik.
f.       Reduce duplication of servise (mengurangi duplikasi pelayanan) yaitu masyarkt memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan, dan sumber daya manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
g.      Accept diversity (menerima pembebasan) yaitu menghindari pemisahan masyarakat yang menghalangi pengembangan masyarakat secara utuh.
h.      Institutional responsiveness (tanggungjawab kelembagaan) yaitu pelayanan kebutuhan masyarakat merupakan kewajiban lembaga public sejak lembaga terbentuk untuk melayani masyarakat.
i.        Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) yaitu kesmpatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua anggota masyarakat tanpa terkecuali.
            Untuk melaksanakan paradigm pendidikan berbasis masyarakat setidaknya harus  memenuhi lima syarat yaitu:
a.       Teknologi yang digunakan harus sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada dalam masyarakat.
b.      Memiliki lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki, dipinjam, dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat.
c.       Program belajar yang akan dikembangkan harus bernilai social dan bermakna bagi kehidupan peserta didik.
d.      Program belajar harus menjadi milik masyarakat bukan pemerintah.
e.       Aparat pendidikan luar sekolah tidak menangani sendiri programnya tetapi bias bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan.
2.      Definisi Pesantren
            Kata pesantren berasal dari akar kata santri  dengan awalan ”pe” dan  akhiran ”an” berarti tempat tinggal para santri. Profesor John berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yaitu berarti guru mengaji. Sedangkan CC.Berg   berpendapat   bahwa istilah tersebut berasal dari kata  shastri yang dalam bahasa India adalah orang-orang yang tahu  buku-buku   suci   agama   Hindu, atau   seorang   sarjana   ahli   kitab   suci   agama   Hindu. Kata shastri sendiri memiliki akar makna yang sama dengan kata shastra yang berarti buku- buku suci, buku-buku agama atau pengetahuan. Tetapi, mungkin juga kata santri dirunut dari   kata  cantrik,   yaitu   para   pembantu   begawan   atau   resi   yang   diberi   upah   berupa   ilmu.
            Teori terakhir ini pun juga perlu dipertimbangkan   karena   di   pesantren   tradisional yang  kecil,  di  pedesaan-pedesaan,  santri   tak  jarang   juga   bertugas    menjadi pembantu Kyai. Konsekuensinya, Kyai memberi makan kepada santri selama santri ada di pesantren dan juga mengajarkan   ilmu agama.   Selain   istilah   tersebut,   dikenal   pula   istilah   pondok   yang   berasal dari   kata   Arab fundûq    dan   berarti   penginapan. Dalam perkembangan  selanjutnya, kedua istilah tersebut biasa digunakan secara bersama-sama, yakni pondok pesantren.
             Potret   pesantren   tidak   terelepas   dari   definisinya,   yaitu   sebagai   sebuah    tempat pendidikan santri. Para ahli berbeda-beda dalam menyebutkan unsur-unsur yang harus ada di dalam pesantren. Ada yang menyebutkan tiga unsur, yaitu santri, asrama dan Kyai. Tetapi ada pula   yang   menyebutkan   lima   unsur  yaitu   santri. Asrama. Kyai, mesjid dan pengajaran kitab kuning.
            Terlepas   dari   perbedaan   bilangan   yang   menjadi   unsur   pesantren,   semua   sepakat bahwa Kyai menempati posisi sentral di dalam sebuah pesantren. Kepada Kyai itulah santri belajar ilmu pengetahuan agama. Agar proses belajar itu lebih lancar, maka di sekitar rumah Kyai dibangun asrama untuk para santri. Di samping itu, pada umumnya juga ada fasilitas ibadah berupa mesjid.
            Selain sebagai pengajar, Kyai  juga merupakan pemimpin dalam sebuah pesantren. Dalam kepemimpinannya, Kyai memiliki kekuasaan yang hampir mutlak. Visi dan misi,  kurikulum, managemen dan berbagai urusan lain di pesantren, semuanya tergantung kepadadawuh   (titah)   Kyai.   Memang   kadang-kadang   santri   senior   diberi   tugas   menjalankan   teknis pendidikan juga di pesantren itu, atau menggantikan Kyai dalam mengajar apabila ada uzur (badal).
            Sedangkan dalam sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa pesantren memiliki tiga unsur utama, yaitu (1) Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; (2)   kurikulum  pondok     pesantren;    dan   (3)  sarana    peribadatan     dan   pendidikan,   seperti masjid,  rumah Kyai,  dan   pondok,     serta   sebagian    madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam ”Tri Dharma Pondok Pesantren” yaitu: (1) keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt.; (2) pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan (3) pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.
B.     Pesantren sebagai Model Pendidikan Berbasis Masyarakat
1.      Sejarah pesantren
            Pesantren kebanyakan berdiri atas inisiatif masyarakat muslim yang memiliki tujuan untuk mendidik generasi muda agar memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran islam dengan baik. Pesantren berhasil mempertegas eksistensinya sebagai pusat belajaar masyarakat karena pesantren memiliki otonomi dengan menggunakan model manajemen sendiriyang kemudian akhir-akhir ini dikenal dengan sebutan manajemen pendidikan berbasis masyarakat.
            Seiring dengan perjalanan bangsa ini, saat lembaga social lain belum berjaln secara maksimal pesantren telah menjadi pusat kegiatan masyarakat dalam belajar agama, beladiri, pengobatan, konsultasi pertanian, mencari jodoh bahkan untuk menyusun perlawanan pada kaum penjajah. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik bukan hanya karena keberadaannya yang sangat lama tetapi juga kultur, metode dan jaringan yang khas diterapkan dalam pesantren. Pesantren juga memiliki jaringan social yang kuat terhadap masyarakat dan sesama pesantren karena besar pengaruh pesantren bukan hanya pada kesamaan pola piker, paham keagamaan tetapi juga memiliki kekerabatan yang kuat dan erat.
            Diperkirakan jumlah pesantren di Indonesia (berdasarkan data Depag 1997) telah mencapai kurang lebih 9.415 pesantren dengan jumlah santri kurang lebih 1.613.727 santri. Pesantren tersebut dikategorikan kedalam tiga model. Model yang pertama adalah model pesantren tradisional yang masih sangat kental mempertahankan system salafiyahnya dan menolak intervensi kurikulum dunia luar. Kedua, model pesantren yang sudah melebur dengan modrenisasi. Ada pelajaran kurikulum salafiyah dan kurikulum umum. Ketiga, model pesantren yang mengikuit proses perubahan modrenitas tanpa menghilangkan system kurikulum salafiyah.
            Meskipun pesantren dicap sebagai pendidikan tradisional akan tetapi pesantren tetap bertahan sampai hari ini. Ditengah-tengah pendidikan nasional yang selalu berubah-ubah, apresiasi masyarakat islam Indonesia terhadap pesantren semakin hari semakin besar. Pesantren yang awalnya hanya sebagai rural-based institution kini berkembang  menjadi pendidikan urbankarena banyak dikota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan,Yogyakarta, Malang dan kot-kota lainnya telah berdiri banyak pesantren didalamnya.
2.      Relevansi dengan Basis Kultural Pesantren
            Pendidikan pesantren adalah pendidikan tertua di Indonesia. Lembaga pendidikan ini dapat bertahan secara implicit mengisyaratkan bahwa islam tradisional dalam segi tertentu masih relevan dengan deru modernisasi. Awalnya dunia pesantren ringkuh dan enggan dalam menerima modernisasi sehingga terjadi kesenjangan antara pesantren dan dunia luar. Akan tetapi secara gradual pesantren mau menerima modernisas melalui proses akomodasi dan inovasi tertentu.
            Pesantren sesungguhnya terbangun atas konstruksi kemasyarakatan dan epistemology social yang menciptakan suatu transendensi dari perjalanan historial social. Kemampuan pesantren untuk mengembangkan diri maupun masyarakat sekitarnya karena pondok pesantren memilki potensi. Potensi itu meliputi tiga aspek yaitu pertama, pondok pesantren hidup selama 24 jam. Kedua, pondok pesantren secara umum mengakar pada masyarakat, dan ketiga pondok pesantrendipercaya oleh masyarakat.
            Ada tiga karakteristik yang merupakan basis utama kultur pesantren. Pertama, pesantren sebagai lembaga tradisionalisme. Kedua, pesantren sebagai pertahanan budaya. Mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang sejak berabad-abad. Ketiga, pesantren sebagai pendidikan keagamaan. Pendidikan pesantren didasarkan dan diarahkan pada nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran islam. Maka pendidikan pesantren didasarkan pada dialog yang dilakukan terus-menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang diyakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas social yang memiliki nilai kebenaran relative.
3.      Kultur Manajemen Pesantren
            Dihadapkan pada derasnya arus perubahan social sebagai dampak modernisasi dan industrialisasi saat ini menjadikan pesantren dituntut untuk member reaksi serta respon yang memadai. Respon dalam menanggapi perubahan ini dilakukan ada yang secara lunak dan keras, ada yang membuka diri dan adapula yang menutup diri. Pesantren dituntut untuk melakukan konstektualisasi tanpa harus mengorbankan watak yang sesungguhnya sebagai institusi pendidikan, keagamaan dan social.
            Pesantren harus membenahi kelemahannya, salah satunya dengan menerapkan manajemen pendidikan berbasis masyarakat. Karena berdasarkan tuntutan modernisasi, aetiap lembaga pendidikan termasuk pesantren harus bertumpu pada masyarakat.
4.      Ide Penerapan Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat di Pesantren
            Selama ini pesantren telah menunjukkan kemampuannya dalam tumbuh dan berkembang dengan kekuatannya sendiri melaluimobilisasi sumber daya yang tersedia dalam masyarakat yang menjadi basis pendukungnya. Akan tetapi sebagian ahli mengatakan bahwa kemandirian pesantren belum optimal dalam melakukan terobosan-terobosan yang berarti. Pesantren dituntut untuk membuka diri dalam menghadapi perubahan slahsatunya dengan memodernisasi manajemen pengelolaannya. Tetapi karena pesantren merupakan jenis pendidikan berbasis masyarakat maka penerapan manajemen ini harus memperhatikan aspek manajemen yang berlaku dalam pendidikan berbasis masyarakat.
            Penerapan manajemen berbasis masyarakat dalam pesantren meliputi beberapa tahap yaitu:

a.       Perencanaan
            Kyai merupakan elemen paling esensial dalam sebuah pesantren. Pertumbuhan suatu pesantren seringkali bergantung pada pribadi dari Kyai. Peran Kyai yang begitu dominan menangani suatu pondok dapat dipahami karena beberapa hal yakni:
1.      Pesantren bias diandaikan sebuah kerajaan kecil dimana Kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewewenangan dalam lingkup lingkungan pesantren.
2.      Seorang Kyai dengan pembantunya merupakan hiererki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui lingkungan pesantren.
3.      Kebanyakan pesantren merupakan gmbaran dari menifestasi Kyainya.
b.      Pengorganisasian
            Pengorganisasian dalam suatu pesantren diatur dan dibagikan tugas-tugas pada seluruh anggota serta pengelola pesantren agar dilaksanakan supaya mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan sehingga pengaturan tugas seperti tugas mengajar, mengatur ketertiban dan keamanan dilingkungan pesantren serta mengontrol kegiatan santri. Dalam pembagian tugas ini, biasanya Kyai akan mempertimbangkan beberapa hal yaitu: (1) senioritas santri, (2) penguasaan bidang ilmu tertentu, (3)pengabdian dan keiklasan.
            Dalam hal pengorganisasian peran ustadz dan santri yang bertindak sebagai pembantu Kyai biasanya dilakukan berupa saran dan masukan. Kepemimpinan Kyai yang kharismatik sering terdengar samapi luar pesantren, sehingga para tokoh dan warga masyarakat menerima pesan keagamaan atau cultural Kyai. Kyai merupakan tonggak awal adanya dukungan dari para masyarakat luar. Luasnya pengorganisasian yang dilakukakn pesantren samapi melibatkan masyarakat dapat mempermudah dalam pencarian sumber dana.
c.       Pengawasan
             Pengawasan ataupun pengendalian pondok pesantren dalam proses belajar santri dilaksanakan bias dengan melibatkan para pembantunya. Perhatian dan rasa kasih saying Kyai merupakan sikap dari wujud pertanggung jawaban yang diamanatkan dari para wali santri. Kebanyakan para santri mengidolakan sosok Kyai Kyai adalah orangtuanya sendiri sehingga proses pengawasan serta pengendalian dapat berjalan secara efektif.
d.      Penganggaran
            Setiap organisasi membutuhkan dana untuk mebiayai kegiatan yang akan dilakukannya. Begitu pula pesantren, pesantren merancang anggaran yang dibebankan kepada para santrinya. Meskipun, Kyai merupakan tokoh sentral dalam manajemen pesantren, peran Kyai yang sudah melekat dalam masyarakat dapat meletakkan fondasi masyarakat dalam pengambangan peantren termasuk untuk mendanai pesantren dengan uang hasil jerig payahnya sendiri. Sehingga kemandirian atau otonomi dalam pengelolaan dana pembiayaan pendidikan dalam pesantren.
e.       Evaluasi
            Setiap kegiatan yang dilakukan oleh Kyai dalam mendidik para santrinya diperlukan adanya evaluasi. Evaluasi dilakukan setahun sekali dengan agenda pertanggung jawaban pada Kyai. Dalam hal ini diadakan dua kepengurusan yaitu pengurus pondok dan pengurus marasah. Pengurus podok bekerja dalam menangani urusan asrama seperti kebersihan, ketertiban, pemeliharaan dan lain-lain. Sedangkan pengurus pondok mengurusi bagaimana pendidikan dalam pesantren berjalan dengan baik dan lancar. Dalam evaluasi dapat diketahui tentang kesalahan atau kekurangan serta kemacetan yang dihadapi sehingga bias diperbaiki untuk kedepannya. 
BAB  III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Pendidikan berbasis masyaakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpuatas prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.  pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada ditangan masyarakat. Prinsip pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang dirancang, diatur, dilaksanakan, dinilai dan dikembangkan oleh masyarakat. Pesantren adalah kampung peradaban. Keberadaannya didambakan, tetapi kadang kala pesonanya   tak   mampu   membetahkan   penghuninya.   Ia   sering   dicibir   sebagai   bagian   dari kamuflase kehidupan, karena lebih banyak mengurusi soal ukhrowiyah ketimbang duniawiyah. Ia sering dicerca sebagai pusat   kehidupan fatalis, karena memproduksi kehidupan zuhud yang mengabaikan dunia   materi.   Padahal,   orang    pesantren    menikmati   kesederhanaan sebagai bagian dari panggilan moral keberagamaan. Bagi mereka dunia adalah ”alat” untuk menggapai akhirat.
            Pesantren menjadi model pendidikan berbasis masyarakat karena dalam menghadapi Kompleksitas permasalahan yang dihadapi bangsa yang disebabkan merosotnya kualitas moral bangsa, pesantren memberikan terobosan baru dalam pengelolaannya. Pesantren saat ini tidaklah terlalu tertutup menerima perubahan serpi dahulu meskipun masih ada beberapa yang mempertahankannya. Pesantren juga telah membenahi struktur manajemennya sehingga berpacuan pada manajemen pendidikan berbasis masyarakat. Penerapan manajemen ini karena adanya tuntutan dari luar untuk membuka diri dalam merespons perubahan dengan memodernisasi pengelolaannya tanpa menghilangkan unsure salafiyahnya. Pesantren sangat memberikan dampak yang positif dalam kehidupan bermasyarakat.

B.     Saran
            Pendidikan dalam pesantren sebaiknya juga memasukkan unsur-unsur keduniawian supaya bila para santri lulus dari pesantren mereka mampu bersaing dengan masyarakat luas agar terjadi keseimbangan antara berkehidupan antar sesama dan keagamaannya. Selain itu pemerintah juga berpartisipasi dalam pengembangan pondok pesantren di Indonesia supaya tidak tergerus oleh perkembangan zaman.
            Pemahaman tentang pesantren yang keliru di masyarakat juga hendaknya diluruskan karena sesungguhnya pesantren memberikan solusi dalam pendidikan karena memberikan unsure keagamaan sekaligus pemahaman dunia.

Daftar Pustaka
Baharuddin. 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: ar-ruzz media
Nasution, S. 2003. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara

Zubaedi. 2006. Pendidikan Berbasis Masyarakat. Yogyakarata: Pustaka Pelajar
Bachtiar, Nurhasanah.http://uin-suska.ac.id/tarbiyah/images/jurnal/2009/nurhasanah_pola.pdf  diunduh pukul 8.47 am hari selasa tanggal 07 juni 2011